Kadang aku merasa menjadi orang yang paling sadis. Karena menyakiti tanpa menyadari. Aku bahkan tidak tau sedalam apa sakit yang aku hadirkan. Kamu memilih diam, lantas menjauh, tanpa memberi penjelasan. Jika aku diizinkan menebak. Alasanmu mungkin, agar biar kamu saja yang menanggung luka. Jangan aku. Agar aku tidak tau seberapa perih jika mendapat luka.
Nyatanya aku begitu egois kan?. Padahal aku merasa sudah menjadi yang baik apabila bersamamu. Aku merasa biar kamu saja yang egois. Itu akan lebih melegakan bagiku. Namun yang terjadi sebaliknya. Lalu aku bisa tau dari mana?. Diammu. Diammu menjawab semua tanyaku. Jika sudah begini, lantas aku harus bagaimana?. Saat ini aku tidak ada ide, aku sendiri tidak tau solusinya.
Aku membenamkan diri dalam kesibukan. Agar tidak ada ruang untuk mengingat ataupun melupakan. Karena semuanya terlalu ringan untuk di ingat, terlalu berat untuk dilupakan. Jika Allah memberiku kesempatan diluar logika, aku ingin masuk ke dalam mesin waktu, kembali ke masa lalu, agar kesalahan itu tidak aku lakukan. Tapi pasti itu hanya khayalan.
Tuk..tuk..tuk.. bunyi pintu di ketuk. Aku tersadar dari lamunan. Jam 5 sore. Aku dapati seorang yang basah kuyup dari balik pintu. Menyodorkan sebuah buku bersampulkan merah hati. Judulnya besar berwarna hitam, sangat jelas dibaca, "bagaimana cara memaafkan". Bukankah kamu selalu begitu? Mengingatkanku dengan cara yang selalu ku tunggu. Karena kita sama-sama tau. Tidak ada yang lebih baik dari memaafkan.
●JKT●010218●
Gambar : https://ceritamedan.com/2016/08/waktu-yang-tepat-untuk-meminta-maaf.html
Komentar
Posting Komentar