Langit itu kembali kelabu, bahkan hari ini lebih kelam lagi. Ini puncakny. Seperti yang terjadi beberapa tahun silam. Hitam pekatnya sama. Hitam sekali. Langitnya seperti mau roboh lalu menghantam Bumi yang akhir-akhir ini terlihat penuh kepalsuan. Seorang anak berlari ke dalam rumah. Cepat sekali. Takut. Takut ikut menjadi korban kemarahan Langit. Ia berlindung di dalam rumah, sambil mendongak ke luar jendela. Dia penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya diantara mereka.
Langit mengeluarkan kilatnya. Putih bercahaya. Menampakkan kemarahannya yang sangat. Seisi Bumi pasti terkejut menyaksikan cahaya yang menyilaukan mata itu. Suaranya menggelegar, memaksa anak itu harus sukarela menutup telinganya. Dia bertanya dalam hati, "Apa gerangan Bumi sehingga Langit marah?". Bukankah Bumi selama ini baik, ia hijau. Atau mungkin karena penghuni Bumi yang sudah merekayasa?. Menjadikan Bumi angkuh." Suara gemuruh bersahut-sahutan. Keras. Tiada henti. Bumipun membalas Langit. Bumi mengancam, tidak akan menumbuhkan pohon. Tidak akan ada oksigen yang akan menyeimbangkan Langit. Langit semakin geram, gemuruhnya kali ini semakin keras.
Aah, sungguh anak itu berharap ini adalah puncaknya yang terakhir. Tidak adalagi puncak-puncak lain setelah ini. Dia gemetar. Dia bosan harus membenci Langit, dan selalu berprasangka pada Bumi. Sudah lama ia mencoba berdamai. Tapi hari itu, kebenciannyapun memuncak. Sadar ia tak boleh membenci siapapun, anak kecil itu ingat sebuah ayat ilahi. Ingatlah Allah, maka hatimu akan tenang. Lantas dia menengadahkan tangannya. Ia tau ada kekuatan yang jauh lebih besar dari Langit dan Bumi. Kekuatan Sang Maha Pencipta. Sang Pemilik Langit dan Bumi. Anak itu memohon ampunan, berdo'a agar masalah Langit dan Bumi menemukan solusi.
Tak lama, kilat mulai hilang. Walau dentuman suara kerasnya masih terdengar sesekali, lalu menghilang juga. Pelan-pelan derai air jatuh satu satu. Lama-lama deras. Ini hujan. Lebat. Langit mengalah. Berharap Bumi lebih tau diri. Awan hitam mulai di hembus angin, menyingkir dari tempat semula. Tampak semburat cantik kemerah-merahan. Matahari sore. Muncul malu-malu dari balik awan yang putih. Seketika keduanya damai. Hening. Anak itu terduduk menyaksikan pergolakan tadi yang seperti tidak akan habis. Tapi hatinya tidak bisa lagi ia percayakan pada Langit dan Bumi. Akan hancur. Tidak akan abadi. Cukup sekedarnya. Cukup Allah saja katanya.
•JKT•210918•
Picture by : @anggunmuliati (Instagram)
Komentar
Posting Komentar